Jakarta – Salah satu gunung api paling aktif di Flores Timur, Gunung Lewotobi Laki-Laki, kembali menunjukkan kekuatan alamnya pada Selasa, 17 Juni 2025. Sekitar pukul 17.35 WITA, Letusan Gunung Lewotobi ini terjadi dengan semburan abu mencapai 10.000 meter ke atmosfer, menyebar ke berbagai penjuru wilayah dan menyebabkan gangguan besar pada kehidupan masyarakat sekitar. ini memperkuat status siaga tinggi di wilayah tersebut, terutama bagi desa-desa yang berada dalam radius bahaya.

Desa-desa seperti Pululera, Boru, dan Konga mengalami dampak langsung dari letusan. Hujan abu dan batu kecil jatuh deras, menyelimuti atap rumah, jalan-jalan, dan ladang warga. Dalam hitungan menit, kawasan tersebut berubah gelap karena tertutup oleh partikel abu yang pekat. Warga yang berada di luar rumah saat kejadian terjadi harus berlindung seadanya. Beberapa bahkan mengeluhkan gangguan pernapasan karena minimnya distribusi masker pelindung.

Petugas pos pengamatan Gunung Lewotobi mencatat aktivitas erupsi gunung lewotobi seismik yang meningkat tajam dalam dua jam sebelum letusan. Getaran terus-menerus, frekuensi gempa vulkanik yang melonjak drastis, serta suhu permukaan kawah yang tinggi menjadi indikator jelas bahwa tekanan magma sudah mencapai titik kritis. Peralatan pemantauan mencatat letusan kali ini sebagai salah satu yang paling eksplosif dalam lima tahun terakhir.

Erupsi ini juga berdampak luas pada sektor penerbangan. Jalur udara yang melintasi wilayah Flores dialihkan atau dibatalkan. Bandara di wilayah sekitar menghentikan seluruh aktivitas operasional demi keamanan. Debu vulkanik memiliki kandungan silika yang sangat berbahaya jika terhisap ke dalam mesin pesawat, dan hal ini menjadi pertimbangan utama otoritas penerbangan dalam mengambil tindakan cepat. Di sisi lain, akses darat juga terganggu oleh ketebalan abu yang menutupi jalan penghubung antarwilayah.

Secara historis, kawasan gunung api di sekitar Lewotobi memiliki riwayat erupsi yang tak bisa dianggap enteng. Letusan Ile Lewotolok tahun 2020 memaksa lebih dari 4.000 orang mengungsi. Gunung Egon meletus tahun 2008 dan menimbulkan kolom abu hingga 5.000 meter. Sedangkan Gunung Rokatenda dikenal karena letusannya tahun 2013 yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Semua kejadian tersebut menunjukkan pola aktivitas vulkanik yang terus berulang dan memerlukan kesiapsiagaan yang berkelanjutan.

Dalam pernyataannya, pejabat BNPB wilayah NTT mengungkapkan bahwa mereka telah mengaktifkan seluruh sistem tanggap darurat. Ratusan warga dari zona merah dievakuasi ke tempat aman. Beberapa sekolah dijadikan tempat penampungan sementara. Dinas Kesehatan daerah juga telah mengirimkan tenaga medis dan obat-obatan untuk mengantisipasi munculnya penyakit akibat paparan abu vulkanik, seperti infeksi saluran pernapasan atas dan iritasi mata.

Masyarakat yang tinggal di sekitar kaki Gunung Lewotobi diimbau untuk tidak beraktivitas dalam radius 7 km dari kawah aktif dan hingga 8 km di sektor barat daya dan timur laut. Ancaman bahaya bukan hanya letusan susulan, tapi juga potensi banjir lahar dingin jika hujan turun. Warga disarankan terus mengikuti pembaruan informasi dari otoritas resmi dan tidak mempercayai hoaks yang beredar di media sosial. Situasi saat ini memerlukan solidaritas dan disiplin tinggi dari semua pihak untuk meminimalkan risiko yang lebih besar. (redaksi/transiar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *